Minggu, 18 Maret 2018

WISATA ALAM JOGJA LANTAI DUA, PANTAI KEBHINEKAAN

Indonesia, never ending destination, begitulah aku menyebutnya. Di setiap sudut Indonesia terdapat destinasi wisata yang menarik. Mulai dari Sabang hingga Merauke terdapat wisata alam, wisata religi, wisata budaya, wisata kuliner dan wisata edukasi. Saya sebagai warga negara Indonesia tak pernah merasa puas untuk menikmati kekayaan luar biasa ini. Entah alasan apa Allah menciptakan Indonesia dengan segala kenikmatan. Jika ingin merasakan indahnya surga dunia, jelajahi Indonesia. Negara yang memiliki 34 provinsi ini disebut juga dengan negara maritim karena dua per tiga bagiannya merupakan wilayah laut.
Aku lahir dan besar di salah satu kabupaten kecil di sisi selatan Jawa Timur, Tulungagung, atau biasa disebut dengan kota marmer. Berpetualang menjadi salah satu dari sekian hobiku. Meskipun telah menjajaki beberapa tempat wisata sejak sekolah menengah, rasa puas itu belum ada. Hingga saya memutuskan untuk mengambil pendidikan tinggi di sebuah kota yang memiliki kelima jenis wisata.
Kota ini memiliki banyak sebutan; kota pelajar, kota budaya, kota gudeg, dan sebutan lain yang mungkin belum aku ketahui. Ya, mana lagi kalau bukan Yogyakarta. Sejak menginjakkan kaki di tanah ini, sudah lumayan banyak tempat yang aku kunjungi. Namun, setelah enam tahun berjalan, baru aku merasa perlu menuliskan perjalananku ini. Apakah terlambat untuk mulai berbagi cerita? Kata orang, tidak ada kata terlambat. Jadi, aku akan mulai bercerita perjalananku hari ini, lengkap dengan biaya yang kukeluarkan agar bisa menjadi referensi pembaca jika nantinya mencoba berkunjung.
Bertepatan pada hari Sabtu, 17 Maret 2018, kalender nasional memberikan tinta merah untuk memperingati Hari Raya Nyepi. Kesempatan ini aku gunakan untuk sedikit menyegarkan otak dari rutinitas harian. Sejak satu minggu yang lalu aku sudah menandai beberapa pantai di Kabupaten Gunung Kidul atau yang biasa disebut dengan ‘Jogja Lantai Dua’, tepatnya di Desa Kanigoro Kecamatan Saptosari.
Aku tidak sendiri, ditemani oleh Mbak dan suaminya, kami berangkat dari Kabupaten Bantul. Perlu waktu kurang lebih dua jam untuk tiba di tempat tujuan. Jika berangkat dari Kota Yogyakarta akan menempuh waktu yang tidak jauh berbeda. Pagi hari cuaca cerah sangat mendukung. Seakan sengaja membuat kami tenggelam dalam kenikmatan suasana. Memasuki Jalan Wonosari, jalanan sedikit demi sedikit menanjak. Sampai bertemulah kami pada jalanan berliku, lalu menyempit dan curam. Bergitulah kira-kira kondisi perjalanan yang harus ditempuh. Belum lagi jika hari libur seperti ini, harus ekstra sabar menghadapi kemacetan. Beruntung kami mengetahui jalan alternatif bebas hambatan, sehingga perjalanan lebih cepat. Di setiap sisi jalan, alam menyuguhkan pemandangan yang menyejukkan mata. Rimbunan pohon dan bentang sawah nan hijau menjadi panorama utama.
Jangan lupa ketika melewati loket harus membayar tiket masuk wisata. Tidak mahal, cukup membayar Rp 5.000,- / orang kami bisa menikmati empat pantai sekaligus. Sangat murah bukan? Tempat pertama yang kami datangi adalah Pantai Ngrenehan. Tiba di tempat itu, kami disuguhi deretan perahu nelayan yang terparkir rapi di atas pasir. Ombaknya cenderung tenang karena diapit oleh dua karang raksasa.

Gambar. Ikon Pantai Kebhinekaan


Gambar. Pantai Ngrenengan - Deretan perahu nelayan

Gambar. Pantai Ngrenehan - Diapit oleh dua karang raksasa

Gambar. Pantai Ngrenehan - Pemandangan 360 derajat

Beberapa orang terlihat berenang bebas tanpa ada pengawasan dari penjaga pantai. Ah, aku tidak sabar untuk segera berbasah ria. Benar saja, air yang tak terlalu banyak bergerak itu memberikan keamanan pada perenang pemula sepertiku. Eits… tapi jangan lengah. Meskipun angin tidak terlalu kencang, aliran air yang terlihat tenang diam-diam bisa menghanyutkan. Terbukti, saat terlalu asyik berenang, tanpa sadar aku telah berada jauh dari bibir pantai. Kakiku bahkan tak bisa menyentuh dasar laut, membuatku sedikit panik. Aku bergegas berenang ke tepi sebelum tenagaku habis untuk bertahan di air. Maklum, perenang amatir dan sangat pemula. Dari kejadian inilah aku bertekad untuk melatih terus kemampuan berenangku agar dapat menyelam melihat terumbu karang suatu saat nanti. Nah, bagi para pemula sepertiku, sebaiknya jaga posisi tak jauh dari bibir pantai atau pastikan selalu dalam pengawasan ahli.
Tak puas hanya dengan berenang. Rayuan para nelayan untuk menaiki perahunya sukses membuat kami luluh. Hanya dengan membayar Rp 25.000,- / orang, kami dapat menaiki perahu nelayan untuk mengelilingi lautan. Awalnya aku sedikit takut karena ini adalah pertama kalinya di atas jutaan liter air laut. Berkat angin yang tidak berhembus terlalu kencang, perahu kecil itu bisa melaju dengan tenang. Meskipun pengemudi menjamin keamanan dan keselamatan, jangan lupa pula memastikan pelampung terpasang kuat di badan untuk berjaga-jaga apabila terjadi hal yang tak diinginkan.

Gambar. Pantai Ngrenehan - Penumpang perahu nelayan

Gambar. Pantai Ngrenehan – Pemandangan dari tengah laut


Gambar 5. Pantai Ngrenehan – Garis batas langit dan air

Angin seakan menghipnotisku, tanpa sadar kami telah berada beberapa kilometer dari bibir pantai. Dari tengah laut kami dapat melihat tiga pantai lain yang telihat tak kalah menarik. Saat itu aku berharap ada burung camar beterbangan di atas kami, lumba-lumba yang meloncat kesana-kemari, atau mungkin ikan yang dapat terlihat dari permukaan. Hahaha… Sayangnya satupun tak dapat kutemukan. Hanya portrait air dan langit biru yang mendominasi pemandangan. Sekitar lima belas menit kemudian, kemudi membalikkan arah dan kami tiba di bibir pantai.
Tanpa terasa waktu berlalu teramat cepat. Memasuki tengah hari, alarm alam berbunyi di perut. Menandakan kami harus istirahat dan mengisi tenaga. Kami sepakat untuk menikmati makan siang di pantai selanjutnya. Sebelum pergi, jangan lupa untuk membayar jasa parkir Rp 5.000,- / mobil.
Sekitar lima menit kemudian kendaraan kami tiba di Pantai Ngobaran. Di pantai ini, angin lebih kencang dan ombak beriak.

Gambar 6. Pantai Ngobaran

Gambar 7. Pantai Ngobaran

Tempat yang tepat untuk kami menikmati santap siang. Kebetulan Mbak memasak makanan yang sangat lezat pagi ini, sengaja membawanya sebagai bekal makan siang, terlepas dari banyaknya makanan yang dijual oleh para pedagang. Hijaunya kelapa muda membuatku tergiur untuk meminumnya, hanya perlu merogoh kocek Rp 10.000,- / buah. Makan siang, es kelapa muda, dan kurang lengkap rasanya jika tidak menyicipi aneka makanan laut yang telah digoreng krispi. Lantas aku membeli ikan balur krispi yang sangat nikmat, gurih dan renyah seharga Rp 15.000,- / 250 gram. Berhubung ikan balur krispi itu ringan, jadi 250 gram sudah cukup banyak untuk dinikmati bertiga. Selesai makan, tak lupa kami menunaikan ibadah shalat Dzuhur karena adzan telah berkumandang. Seasyik apapun berpetualang, jangan lupa bersyukur dan melaksanakan perintah Sang Pencipta alam semesta.
Setelah tubuh mendapatkan tenaganya, kami kembali menikmati nuansa alam. Air yang surut menampakkan aneka tumbuhan dan hewat laut. Ada sensani tersendiri ketika telapak kaki menyentuh karang yang dilapisi oleh alga. Di sini, penjual menawarkan jaring dan ember kecil seharga Rp 10.000,- / set untuk menangkap ikan-ikan kecil. Tak hanya anak kecil, orang dewasa pun turut berlomba mendapatkan ikan. Ikan-ikan kecil ini sangat gesit, membuat orang kuwalahan untuk menangkapnya. Ah, selain ikan ada juga hewan lain seperti bintang laut, bulu babi, dan lain-lain.


Gambar. Pantai Ngobaran – Jaring dan ember

Gambar. Pantai Ngobaran - Berburu ikan

Gambar. Pantai Ngobaran - Bintang laut

Gambar. Pantai Ngobaran – Patung dan Bangunan Hindu

Perjalanan kami berlanjut ke Pantai Nguyahan tak jauh dari Pantai Ngobaran. Cukup berjalan kaki selama sepuluh menit dan sekali lagi pemandangan indah menyambut kami. Pantai ini tak jauh berbeda dengan pantai sebelumnya. Di sini, pengunjung juga dapat berburu ikan dan melihat beberapa biota laut.

Gambar. Pantai Nguyahan

Gambar. Pantai Nguyahan – Pemandangan 360 derajat

Gambar. Pantai Nguyahan – Garis batas langit dan pantai

Kumandang adzan Ashar mengingatkan kami akan waktu yang terlupakan. Tiba saatnya keluar dari air laut dan kembali menghadap Sang Pencipta. Tak lama selesai ibadah shalat Ashar, cahaya mentari semakin tertutup oleh mendung. Kami terpaksa bergegas meninggalkan tempat indah ini. Jika ingin tahu biaya parkir, yakni senilai Rp 10.000,- / mobil.
Tak berselang lama, tetesan air langit mengguyur kami. Beruntung kami telah berada di dalam mobil. Sepanjang perjalanan pulang kami terpaksa menerobos samar-samar jalan yang tertutup air hujan. Kami harus ekstra hati-hati, melewati jalan berliku, curam, dan tentu saja licin. Jika ragu melewati kondisi seperti ini, sebaiknya menepi dan menunggu hujan reda.

Gambar. Penglihatan jalan samar-samar

Demikian cerita perjalanan hari ini. Dalam kondisi dan situasi apapun tak kan membuatku jera untuk melanjutkan petualangan. Semua foto yang dilampirkan merupakan dokumentasi pribadi hasil jepretan fotografer abal-abal hanya dengan menggunakan kamera ponsel. Harap dimaklumi, haha….
Terima kasih telah menyempatkan diri membaca. Sampai jumpa di episode jalan-jalan selanjutnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Resensi Film : SERENDIPITY

Judul           : Serendipity Rilis            : 9 Agustus 2018 Genre         : Drama/Romance Sutradara   : Indra Gunawan Negar...