Malam
telah tiba. Terdengar suara seorang lelaki dari speaker masjid. Ia memulainya dengan salam. Lelaki itu memberikan
beberapa pengumuman penting. Aku dan kedua temanku mendengarkannya dengan
seksama. Selesai memberikan pengumuman, ia menutupnya dengan salam. Lalu
berkumandanglah adzan Isya’. Kami bertiga bergegas mengambil air wudhu.
Yayyyy…
Yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku sudah tidak sabar menemuinya. Begitu
pula dengan kedua kawan senasib-seperjuanganku. Bayangkan, kami cuma bisa
menemuinya sekali dalam setahun. Bagaimana bisa kami tidak rindu. Ini tahun kedua
kami menemuinya bersama-bersama.
Keadaan
memaksa kami untuk hidup mandiri, jauh dari keluarga. Untuk itu, perlu rencana
yang matang agar kami bisa survive di
tanah orang. Apa kata orang kalau pulang nanti badan kami kurus kering. Bakal
timbul pertanyaan-pertanyaan serius dari tetangga dan keluarga besar yang susah
kami jawab, seperti:
“Kok
kamu kurusan? Makannya sedikit ya? Kurang gizi ya? Uang bulanannya kurang ya?”
Kan kasihan orang tua, dikiranya nanti men-dzolimi
anak.
Kecuali
temanku satu ini, Nina. Dengan atau tanpa rencana survive pun dia tidak akan dikhawatirkan karena masalah kekurangan
gizi. Justru kami yang harusnya khawatir, anak ini tidak tau yang namanya
prihatin. Mau makan banyak atau sedikit badannya tetap saja ‘subur’.
Sebaliknya,
temanku satu lagi, Devi. Sebanyak apapun dia makan, badannya tetap saja
mengkhawatirkan. Entah kemana perginya zat-zat makanan yang masuk ke tubuhnya. Seperti
angka sepuluh saja jika disandingkan dengan si Nina.
Kalau
aku, ada yang tanya tidak? Oh, tidak ada. Baiklah, kita lanjutkan saja
ceritanya.
Malam ini, malam pertama kami menyambutnya. Kami
berdandan rapi, terbalut kain besar mukena yang menutupi seluruh badan. Tentu
saja badan kami harus bersih dan harum. Saat keluar rumah kontrakan ternyata
bukan hanya kami yang tak sabar menyambutnya. Beberapa orang berbondong-bondong
berjalan ke arah yang sama. Kami menyalami beberapa wanita yang kami temui
dalam perjalanan.
Sampai di masjid, ternyata tidak hanya kami yang
tidak sabar menemuinya. Buktinya, Masjid yang biasanya hanya terisi dua-tiga
baris shaf saja, kini justru takmir harus menyediakan shaf tambahan di aspal. Jalan kecil itu
sengaja ditutup untuk mengantisipasi membludaknya jamaah seperti ini.
Namun bagaimanapun juga, yang terpenting adalah niat
untuk melaksanakan ibadah itu. Shalat kali ini spesial. Tidak hanya shalat
Isya’ yang kami tunaikan, kami menambahkan shalat tarawih delapan rakaat dan
diakhiri dengan shalat Witir tiga rakaat. Di samping itu, ada pula yang tidak
berubah. Seperti hari-hari sebelumnya, shalat kami laksanakan dengan penuh
khidmat bersujud pada Yang Maha Kuasa pencipta alam semesta ini.
Pulang dari masjid, kami bertiga berkumpul
mengadakan suatu rapat kecil yang sangat penting mengenai kelangsungan hidup
umat manusia.
“Kita harus membuat strategi,” aku memulai
pembicaraan.
“Mau pakai strategi lama atau buat baru?” imbuh
Nina.
“Sepertinya strategi lama kurang optimal. Kita butuh
strategi baru. Ada yang punya ide?”
“Mau makan tinggal makan, repot pakai strategi,”
sanggah Devi.
“Bukan masalah makan atau gak makan, Dev. Ini
masalah kondisi kesehatan kantong. Kalau kantongnya gak sehat, aku jadi ikut
sedih. Ya gak, Nin?”
“Tul banget,” kata Nina sembari mengunyah keripik
kentangnya.
“Okey, kali ini kita roadshow. Siapa yang dapat info tempat menarik, share, kita realisasi. Setuju?” Aku
mengangkat tangan yang terkepal seperti pahlawan yang meneriakkan semangat perjuangan.
“SETUJU !!!” jawab Nina tak kalah semangatnya.
!=!!=!
Hari pertama Ramadhan.
Puasa bukanlah hal berat bagi kami. Hari pertama ini
kami lalui dengan cepat. Target kami hari ini adalah masjid kampus tempat kami
kuliah. Biasanya masjid atau mushola mengadakan kajian yang dimulai pukul 16.30
sampai dengan waktu berbuka. Oleh karenanya, meskipun kami bertiga memiliki
aktivitas yang berbeda, kami sepakat berkumpul di masjid itu tepat waktu kajian
dimulai.
Kajian diisi oleh seorang ustadz muda. Wajahnya tak
asing, ya – setelah ku ingat-ingat ia merupakan salah satu alumni di kampusku.
Ia memilih tema ikhlas dalam kajian pertama di Bulan Ramadhan. Satu per satu
orang datang. Dilihat dari rupa dan stylenya,
mereka yang datang hampir semua merupakan mahasiswa. Tidak terlalu banyak,
sepertinya lebih didominasi oleh organisasi rohis dan beberapa penyusup sepertiku.
Tak banyak orang yang ku kenal. Tentu saja kami
tidak bisa banyak mengobrol. Hanya sekedar bertegur sapa dengan jabat tangan
dan senyuman. Memang tidak ada larangan, tapi memang tujuan kita di sini adalah
mendengarkan kajian. Bukan untuk mengobrol, apalagi menggunjing. Saat waktu
magrib tiba, kajian ditutup dengan salam. Seorang muadzin mengumandangkan
adzan, tanda waktu berbuka.
“Allaahumma
lakasumtu wabika aamantu wa'alaa rizqika afthortu birohmatika yaa arhamar
roohimiin.” Tanpa perlu disuruh, kami membaca doa berbuka puasa.
Kami meminum segelas teh hangat yang telah
dihidangkan. Hmmm… Surga dunia. Dilanjutkan dengan ritual membuka bungkus nasi.
Aku, Nina, dan Devi saling bertukar pandangan.
Makhluk tak bernyawa di depan kami begitu seksi. Berkulit
coklat, aromanya wangi, saat dibuka – wuihh – warna dan teksturnya sempurna.
“Ayam bakar, euy,”
bisikku pada mereka.
Nina langsung menyantapnya tanpa basa-basi. Belum
sampai makanan itu masuk ke mulutnya, tangan Devi mencegahnya.
“Doa dulu, euy.”
Dengan raut muka kecewa, Nina menunda santapannya. “Allahumma baarik llanaa fiima razaqtanaa
waqinaa adzaa ban-naar.”
Selesai berdoa, makanan itu mulai masuk ke mulut
kami. Nina memandangku dengan tatapan aneh.
“Ada apa?” tanyaku.
“Pecah, euy. Sambalnya,
luar biasa. Maknyusss…”
“Halah, kirain. Nah, Dev, kamu kenapa? Sudah, jangan
sedih. Bapak ibu di rumah juga makan enak kok. Jangan nangis.”
“Pedes, euy.”
Baru santapan pertama, Devi sudah mengeluarkan air mata.
Dia memang paling tidak kuat makan pedas. Kalau
sudah begini, biasanya sambal itu akan jadi rebutan olehku dan Nina. Tapi
berhubung ini di masjid, kami berebut dalam diam.
“Alhamdulillah…
Luas biasa. Surga dunia. Ayuk shalat.” Seperti biasa, Nina lah yang paling
cepat habis makanannya.
“Bentar, euy. Belum
habis. Wudhu dulu sana. Keburu antri banyak.”
Selesai makan, kami menunaikan shalat magrib
berjamaah. Lantas kami pulang ke kontrakan.
“Besok kemana lagi kita?”
!=!!=!
Hari ke lima.
“Kayaknya besok kita gak usah ke mushala samping
kontrakan lagi deh,” Nina memasang muka masam.
Aku tertawa melihat ekspresi mukanya. “Sebungkus
buat bertiga. Haha… Pulangnya makan lagi sebagor.”
Dua hari terakhir kami tidak ada waktu untuk roadshow. Sibuk dengan urusan
masing-masing. Akhirnya kami memilih mushala dekat kontrakan sebagai tempat
perburuan.
Kami baru tau mushala itu hanya menyiapkan sedikit
nasi bungkus. Awalnya kami mendapat dua bungkus nasi. Tiba-tiba seorang anak
menumpahkan makanannya. Berhubung nasi bungkus sudah habis. Aku memberikan
jatahku padanya. Alhasil, kami makan nasi sebungkus bertiga. Romantis bukan?
Keesokan harinya kurang beruntung lagi. Perburuan kami
gagal. Banyak anak-anak yang berebut. Kami duduk diam mendengarkan kajian
sembari menunggu antrian sepi. Detik-detik terakhir menuju waktu berbuka,
jreng, jreng… nasi bungkus habis. Hanya mendapat segelas teh hangat sekedar
untuk membatalkan puasa.
“Jangan bilang hanya. Syukur sudah dapat teh. Yang
penting sehat. Nanti aku traktir makan di luar deh,” kata-kata Devi begitu
menyejukkan hati menghibur kami. Aku tidak yakin mana yang lebih menghibur
antara ‘yang penting sehat’ atau tentang ‘traktir makan’.
Keesokan harinya, kami terpaksa menunda roadshow. Inilah ancaman yang paling
mengkhawatirkan. Acara buka bersama dengan teman kuliah, organisasi, komunitas,
dan lain-lain. Usaha survive kami
kacau gara-gara ini. Makan di warung makan membuat kantong kempes. Jika
berusaha menghindar nanti dikata-katain gak setia kawan lah, sombong lah, sok
sibuk lah, ini lah, itu lah. Hufff…
Hari ke lima belas.
“Aku tadi lihat spanduk. Masjid di Jogojaya nyiapin
1500 porsi, euy,” kata Nina dengan
semangat.
“Jauh, euy. Cari
yang dekat aja,” Devi malas menanggapinya.
Kami berdua memandang Devi dengan tatapan pamungkas.
Tak kuasa melawan senjata itu akhirnya Devi menyerah. “Ya, ya, ayo berangkat.”
Jauh memang, apalagi harus melihat antrian yang
sangat panjang setibanya di sana. Devi sudah lemas dibuatnya. Tiba giliran kami
mengambil makanan.
Nina melirikku.“Surga dunia, gule kambing, euy.”
Aku melirik Nina menunjukkan sesuatu. “Nikmat Allah
mana lagi yang kau dustakan. Es buah, euy.”
Tak sia-sia perjuangan kami jauh-jauh datang kemari
dan berdiri lama mengantri. Beberapa hari setelahnya kami masih belum bisa move on dari masjid ini. Menu-menu hari
selanjutnya tidak kalah menggoda. Seperti; nasi padang, soto daging, dan sate
ayam.
Hari ke dua puluh tiga.
“Besok aku mudik. Ini hari terakhir roadshow kita. Harus spesial, euy,” kata Nina.
“Emm… Maaf aku gak bisa. Hari ini aku ada acara sama
komunitasku,” jawabku.
“Yah, gak asik, euy.”
“Kalian ikut acaraku aja yuk.”
“Kemana?” tanya Devi.
“Nanti juga tau.”
Mereka setuju untuk ikut.
Inilah komunitas yang aku ikuti selama beberapa
tahun terakhir. Blood for Others, atau
sering disebut BFO. Yakni komunitas para pendonor darah. Kami memiliki cara
sendiri untuk menunjukkan rasa syukur atas kesehatan yang Allah berikan dengan
cara berbagi darah. Setetes darah sehat kita merupakan harapan hidup bagi
mereka yang membutuhkan. Sakitnya suntikan jarum tidak ada apa-apanya dibanding
sakitnya mereka melawan kematian. Di samping itu, tubuh kita juga akan merasa
lebih sehat jika rutin melakukannya. Buktinya, aku jarang sakit dan bisa
berdiri di sini.
Sore kali ini kami membagikan selebaran berisi
tulisan tentang donor darah dan stiker BFO kepada para pengendara. Beberapa di
antara kami membagikan bungkusan nasi dan air mineral kepada anak jalanan,
tukang becak, dan penjual koran.
“Gak nyangka ya, Sa.” Nina berbicara padaku. “Gak
nyangka bantu orang seperti ini ngalah-ngalahin senangnya makan gule gratis.”
“Hmm… Jangan salah. Nikmatnya beda, euy. Gak ada tandingannya,” jawabku.
“Ada lagi yang lebih nikmat, euy,” timpal Devi.
“Apa?” Nina penasaran.
“Badan sehat, makan bareng-bareng sama keluarga di
rumah.”
Kami bertiga tertawa bersama, lebih tepatnya
menertawakan tingkah kita selama ini.
!=!Selesai!=!
Hak cipta © Juni 2017