Sabtu, 11 November 2017

PPT (PARA PEMBURU TAKJIL)

Penulis : Razan Fuku


Malam telah tiba. Terdengar suara seorang lelaki dari speaker masjid. Ia memulainya dengan salam. Lelaki itu memberikan beberapa pengumuman penting. Aku dan kedua temanku mendengarkannya dengan seksama. Selesai memberikan pengumuman, ia menutupnya dengan salam. Lalu berkumandanglah adzan Isya’. Kami bertiga bergegas mengambil air wudhu.
Yayyyy…
Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Aku sudah tidak sabar menemuinya. Begitu pula dengan kedua kawan senasib-seperjuanganku. Bayangkan, kami cuma bisa menemuinya sekali dalam setahun. Bagaimana bisa kami tidak rindu. Ini tahun kedua kami menemuinya bersama-bersama.
Keadaan memaksa kami untuk hidup mandiri, jauh dari keluarga. Untuk itu, perlu rencana yang matang agar kami bisa survive di tanah orang. Apa kata orang kalau pulang nanti badan kami kurus kering. Bakal timbul pertanyaan-pertanyaan serius dari tetangga dan keluarga besar yang susah kami jawab, seperti:
“Kok kamu kurusan? Makannya sedikit ya? Kurang gizi ya? Uang bulanannya kurang ya?” Kan kasihan orang tua, dikiranya nanti men-dzolimi anak.
Kecuali temanku satu ini, Nina. Dengan atau tanpa rencana survive pun dia tidak akan dikhawatirkan karena masalah kekurangan gizi. Justru kami yang harusnya khawatir, anak ini tidak tau yang namanya prihatin. Mau makan banyak atau sedikit badannya tetap saja ‘subur’.
Sebaliknya, temanku satu lagi, Devi. Sebanyak apapun dia makan, badannya tetap saja mengkhawatirkan. Entah kemana perginya zat-zat makanan yang masuk ke tubuhnya. Seperti angka sepuluh saja jika disandingkan dengan si Nina.
Kalau aku, ada yang tanya tidak? Oh, tidak ada. Baiklah, kita lanjutkan saja ceritanya.
Malam ini, malam pertama kami menyambutnya. Kami berdandan rapi, terbalut kain besar mukena yang menutupi seluruh badan. Tentu saja badan kami harus bersih dan harum. Saat keluar rumah kontrakan ternyata bukan hanya kami yang tak sabar menyambutnya. Beberapa orang berbondong-bondong berjalan ke arah yang sama. Kami menyalami beberapa wanita yang kami temui dalam perjalanan.
Sampai di masjid, ternyata tidak hanya kami yang tidak sabar menemuinya. Buktinya, Masjid yang biasanya hanya terisi dua-tiga baris shaf  saja, kini justru takmir harus menyediakan shaf tambahan di aspal. Jalan kecil itu sengaja ditutup untuk mengantisipasi membludaknya jamaah seperti ini.
Namun bagaimanapun juga, yang terpenting adalah niat untuk melaksanakan ibadah itu. Shalat kali ini spesial. Tidak hanya shalat Isya’ yang kami tunaikan, kami menambahkan shalat tarawih delapan rakaat dan diakhiri dengan shalat Witir tiga rakaat. Di samping itu, ada pula yang tidak berubah. Seperti hari-hari sebelumnya, shalat kami laksanakan dengan penuh khidmat bersujud pada Yang Maha Kuasa pencipta alam semesta ini.
Pulang dari masjid, kami bertiga berkumpul mengadakan suatu rapat kecil yang sangat penting mengenai kelangsungan hidup umat manusia.
“Kita harus membuat strategi,” aku memulai pembicaraan.
“Mau pakai strategi lama atau buat baru?” imbuh Nina.
“Sepertinya strategi lama kurang optimal. Kita butuh strategi baru. Ada yang punya ide?”
“Mau makan tinggal makan, repot pakai strategi,” sanggah Devi.
“Bukan masalah makan atau gak makan, Dev. Ini masalah kondisi kesehatan kantong. Kalau kantongnya gak sehat, aku jadi ikut sedih. Ya gak, Nin?”
“Tul banget,” kata Nina sembari mengunyah keripik kentangnya.
“Okey, kali ini kita roadshow. Siapa yang dapat info tempat menarik, share, kita realisasi. Setuju?” Aku mengangkat tangan yang terkepal seperti pahlawan yang meneriakkan semangat perjuangan.
“SETUJU !!!” jawab Nina tak kalah semangatnya.
!=!!=!
Hari pertama Ramadhan.
Puasa bukanlah hal berat bagi kami. Hari pertama ini kami lalui dengan cepat. Target kami hari ini adalah masjid kampus tempat kami kuliah. Biasanya masjid atau mushola mengadakan kajian yang dimulai pukul 16.30 sampai dengan waktu berbuka. Oleh karenanya, meskipun kami bertiga memiliki aktivitas yang berbeda, kami sepakat berkumpul di masjid itu tepat waktu kajian dimulai.
Kajian diisi oleh seorang ustadz muda. Wajahnya tak asing, ya – setelah ku ingat-ingat ia merupakan salah satu alumni di kampusku. Ia memilih tema ikhlas dalam kajian pertama di Bulan Ramadhan. Satu per satu orang datang. Dilihat dari rupa dan stylenya, mereka yang datang hampir semua merupakan mahasiswa. Tidak terlalu banyak, sepertinya lebih didominasi oleh organisasi rohis dan beberapa penyusup sepertiku.
Tak banyak orang yang ku kenal. Tentu saja kami tidak bisa banyak mengobrol. Hanya sekedar bertegur sapa dengan jabat tangan dan senyuman. Memang tidak ada larangan, tapi memang tujuan kita di sini adalah mendengarkan kajian. Bukan untuk mengobrol, apalagi menggunjing. Saat waktu magrib tiba, kajian ditutup dengan salam. Seorang muadzin mengumandangkan adzan, tanda waktu berbuka.
Allaahumma lakasumtu wabika aamantu wa'alaa rizqika afthortu birohmatika yaa arhamar roohimiin.” Tanpa perlu disuruh, kami membaca doa berbuka puasa.
Kami meminum segelas teh hangat yang telah dihidangkan. Hmmm… Surga dunia. Dilanjutkan dengan ritual membuka bungkus nasi. Aku, Nina, dan Devi saling bertukar pandangan.
Makhluk tak bernyawa di depan kami begitu seksi. Berkulit coklat, aromanya wangi, saat dibuka – wuihh – warna dan teksturnya sempurna.
“Ayam bakar, euy,” bisikku pada mereka.
Nina langsung menyantapnya tanpa basa-basi. Belum sampai makanan itu masuk ke mulutnya, tangan Devi mencegahnya.
“Doa dulu, euy.
Dengan raut muka kecewa, Nina menunda santapannya. “Allahumma baarik llanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar.
Selesai berdoa, makanan itu mulai masuk ke mulut kami. Nina memandangku dengan tatapan aneh.
“Ada apa?” tanyaku.
“Pecah, euy. Sambalnya, luar biasa. Maknyusss…”
“Halah, kirain. Nah, Dev, kamu kenapa? Sudah, jangan sedih. Bapak ibu di rumah juga makan enak kok. Jangan nangis.”
“Pedes, euy.” Baru santapan pertama, Devi sudah mengeluarkan air mata.
Dia memang paling tidak kuat makan pedas. Kalau sudah begini, biasanya sambal itu akan jadi rebutan olehku dan Nina. Tapi berhubung ini di masjid, kami berebut dalam diam.
Alhamdulillah… Luas biasa. Surga dunia. Ayuk shalat.” Seperti biasa, Nina lah yang paling cepat habis makanannya.
“Bentar, euy. Belum habis. Wudhu dulu sana. Keburu antri banyak.”
Selesai makan, kami menunaikan shalat magrib berjamaah. Lantas kami pulang ke kontrakan.
“Besok kemana lagi kita?”
!=!!=!
Hari ke lima.
“Kayaknya besok kita gak usah ke mushala samping kontrakan lagi deh,” Nina memasang muka masam.
Aku tertawa melihat ekspresi mukanya. “Sebungkus buat bertiga. Haha… Pulangnya makan lagi sebagor.”
Dua hari terakhir kami tidak ada waktu untuk roadshow. Sibuk dengan urusan masing-masing. Akhirnya kami memilih mushala dekat kontrakan sebagai tempat perburuan.
Kami baru tau mushala itu hanya menyiapkan sedikit nasi bungkus. Awalnya kami mendapat dua bungkus nasi. Tiba-tiba seorang anak menumpahkan makanannya. Berhubung nasi bungkus sudah habis. Aku memberikan jatahku padanya. Alhasil, kami makan nasi sebungkus bertiga. Romantis bukan?
Keesokan harinya kurang beruntung lagi. Perburuan kami gagal. Banyak anak-anak yang berebut. Kami duduk diam mendengarkan kajian sembari menunggu antrian sepi. Detik-detik terakhir menuju waktu berbuka, jreng, jreng… nasi bungkus habis. Hanya mendapat segelas teh hangat sekedar untuk membatalkan puasa.
“Jangan bilang hanya. Syukur sudah dapat teh. Yang penting sehat. Nanti aku traktir makan di luar deh,” kata-kata Devi begitu menyejukkan hati menghibur kami. Aku tidak yakin mana yang lebih menghibur antara ‘yang penting sehat’ atau tentang ‘traktir makan’.
Keesokan harinya, kami terpaksa menunda roadshow. Inilah ancaman yang paling mengkhawatirkan. Acara buka bersama dengan teman kuliah, organisasi, komunitas, dan lain-lain. Usaha survive kami kacau gara-gara ini. Makan di warung makan membuat kantong kempes. Jika berusaha menghindar nanti dikata-katain gak setia kawan lah, sombong lah, sok sibuk lah, ini lah, itu lah. Hufff…
Hari ke lima belas.
“Aku tadi lihat spanduk. Masjid di Jogojaya nyiapin 1500 porsi, euy,” kata Nina dengan semangat.
“Jauh, euy. Cari yang dekat aja,” Devi malas menanggapinya.
Kami berdua memandang Devi dengan tatapan pamungkas. Tak kuasa melawan senjata itu akhirnya Devi menyerah. “Ya, ya, ayo berangkat.”
Jauh memang, apalagi harus melihat antrian yang sangat panjang setibanya di sana. Devi sudah lemas dibuatnya. Tiba giliran kami mengambil makanan.
Nina melirikku.“Surga dunia, gule kambing, euy.
Aku melirik Nina menunjukkan sesuatu. “Nikmat Allah mana lagi yang kau dustakan. Es buah, euy.
Tak sia-sia perjuangan kami jauh-jauh datang kemari dan berdiri lama mengantri. Beberapa hari setelahnya kami masih belum bisa move on dari masjid ini. Menu-menu hari selanjutnya tidak kalah menggoda. Seperti; nasi padang, soto daging, dan sate ayam.
Hari ke dua puluh tiga.
“Besok aku mudik. Ini hari terakhir roadshow kita. Harus spesial, euy,” kata Nina.
“Emm… Maaf aku gak bisa. Hari ini aku ada acara sama komunitasku,” jawabku.
“Yah, gak asik, euy.
“Kalian ikut acaraku aja yuk.”
“Kemana?” tanya Devi.
“Nanti juga tau.”
Mereka setuju untuk ikut.
Inilah komunitas yang aku ikuti selama beberapa tahun terakhir. Blood for Others, atau sering disebut BFO. Yakni komunitas para pendonor darah. Kami memiliki cara sendiri untuk menunjukkan rasa syukur atas kesehatan yang Allah berikan dengan cara berbagi darah. Setetes darah sehat kita merupakan harapan hidup bagi mereka yang membutuhkan. Sakitnya suntikan jarum tidak ada apa-apanya dibanding sakitnya mereka melawan kematian. Di samping itu, tubuh kita juga akan merasa lebih sehat jika rutin melakukannya. Buktinya, aku jarang sakit dan bisa berdiri di sini.
Sore kali ini kami membagikan selebaran berisi tulisan tentang donor darah dan stiker BFO kepada para pengendara. Beberapa di antara kami membagikan bungkusan nasi dan air mineral kepada anak jalanan, tukang becak, dan penjual koran.
“Gak nyangka ya, Sa.” Nina berbicara padaku. “Gak nyangka bantu orang seperti ini ngalah-ngalahin senangnya makan gule gratis.”
“Hmm… Jangan salah. Nikmatnya beda, euy. Gak ada tandingannya,” jawabku.
“Ada lagi yang lebih nikmat, euy,” timpal Devi.
“Apa?” Nina penasaran.
“Badan sehat, makan bareng-bareng sama keluarga di rumah.”
Kami bertiga tertawa bersama, lebih tepatnya menertawakan tingkah kita selama ini.


!=!Selesai!=!

Hak cipta © Juni 2017

Resensi Film : SERENDIPITY

Judul           : Serendipity Rilis            : 9 Agustus 2018 Genre         : Drama/Romance Sutradara   : Indra Gunawan Negar...