Indonesia,
never ending destination, begitulah
aku menyebutnya. Di setiap sudut Indonesia terdapat destinasi wisata yang
menarik. Mulai dari Sabang hingga Merauke terdapat wisata alam, wisata religi,
wisata budaya, wisata kuliner dan wisata edukasi. Saya sebagai warga negara
Indonesia tak pernah merasa puas untuk menikmati kekayaan luar biasa ini. Entah
alasan apa Allah menciptakan Indonesia dengan segala kenikmatan. Jika ingin
merasakan indahnya surga dunia, jelajahi Indonesia. Negara yang memiliki 34
provinsi ini disebut juga dengan negara maritim karena dua per tiga bagiannya
merupakan wilayah laut.
Aku
lahir dan besar di salah satu kabupaten kecil di sisi selatan Jawa Timur,
Tulungagung, atau biasa disebut dengan kota marmer. Berpetualang menjadi salah
satu dari sekian hobiku. Meskipun telah menjajaki beberapa tempat wisata sejak
sekolah menengah, rasa puas itu belum ada. Hingga saya memutuskan untuk
mengambil pendidikan tinggi di sebuah kota yang memiliki kelima jenis wisata.
Kota
ini memiliki banyak sebutan; kota pelajar, kota budaya, kota gudeg, dan sebutan
lain yang mungkin belum aku ketahui. Ya, mana lagi kalau bukan Yogyakarta.
Sejak menginjakkan kaki di tanah ini, sudah lumayan banyak tempat yang aku
kunjungi. Namun, setelah enam tahun berjalan, baru aku merasa perlu menuliskan
perjalananku ini. Apakah terlambat untuk mulai berbagi cerita? Kata orang,
tidak ada kata terlambat. Jadi, aku akan mulai bercerita perjalananku hari ini,
lengkap dengan biaya yang kukeluarkan agar bisa menjadi referensi pembaca jika
nantinya mencoba berkunjung.
Bertepatan
pada hari Sabtu, 17 Maret 2018, kalender nasional memberikan tinta merah untuk
memperingati Hari Raya Nyepi. Kesempatan ini aku gunakan untuk sedikit
menyegarkan otak dari rutinitas harian. Sejak satu minggu yang lalu aku sudah
menandai beberapa pantai di Kabupaten Gunung Kidul atau yang biasa disebut
dengan ‘Jogja Lantai Dua’, tepatnya
di Desa Kanigoro Kecamatan Saptosari.
Aku
tidak sendiri, ditemani oleh Mbak dan suaminya, kami berangkat dari Kabupaten
Bantul. Perlu waktu kurang lebih dua jam untuk tiba di tempat tujuan. Jika
berangkat dari Kota Yogyakarta akan menempuh waktu yang tidak jauh berbeda.
Pagi hari cuaca cerah sangat mendukung. Seakan sengaja membuat kami tenggelam
dalam kenikmatan suasana. Memasuki Jalan Wonosari, jalanan sedikit demi sedikit
menanjak. Sampai bertemulah kami pada jalanan berliku, lalu menyempit dan
curam. Bergitulah kira-kira kondisi perjalanan yang harus ditempuh. Belum lagi
jika hari libur seperti ini, harus ekstra sabar menghadapi kemacetan. Beruntung
kami mengetahui jalan alternatif bebas hambatan, sehingga perjalanan lebih
cepat. Di setiap sisi jalan, alam menyuguhkan pemandangan yang menyejukkan
mata. Rimbunan pohon dan bentang sawah nan hijau menjadi panorama utama.
Jangan
lupa ketika melewati loket harus membayar tiket masuk wisata. Tidak mahal,
cukup membayar Rp 5.000,- / orang kami bisa menikmati empat pantai sekaligus.
Sangat murah bukan? Tempat pertama yang kami datangi adalah Pantai Ngrenehan. Tiba di tempat itu,
kami disuguhi deretan perahu nelayan yang terparkir rapi di atas pasir.
Ombaknya cenderung tenang karena diapit oleh dua karang raksasa.
Gambar. Ikon Pantai Kebhinekaan
Gambar. Pantai Ngrenengan - Deretan perahu nelayan
Gambar. Pantai Ngrenehan - Diapit oleh dua karang
raksasa
Gambar. Pantai Ngrenehan - Pemandangan 360 derajat
Beberapa
orang terlihat berenang bebas tanpa ada pengawasan dari penjaga pantai. Ah, aku
tidak sabar untuk segera berbasah ria. Benar saja, air yang tak terlalu banyak
bergerak itu memberikan keamanan pada perenang pemula sepertiku. Eits… tapi
jangan lengah. Meskipun angin tidak terlalu kencang, aliran air yang terlihat
tenang diam-diam bisa menghanyutkan. Terbukti, saat terlalu asyik berenang,
tanpa sadar aku telah berada jauh dari bibir pantai. Kakiku bahkan tak bisa
menyentuh dasar laut, membuatku sedikit panik. Aku bergegas berenang ke tepi
sebelum tenagaku habis untuk bertahan di air. Maklum, perenang amatir dan
sangat pemula. Dari kejadian inilah aku bertekad untuk melatih terus kemampuan
berenangku agar dapat menyelam melihat terumbu karang suatu saat nanti. Nah,
bagi para pemula sepertiku, sebaiknya jaga posisi tak jauh dari bibir pantai
atau pastikan selalu dalam pengawasan ahli.
Tak
puas hanya dengan berenang. Rayuan para nelayan untuk menaiki perahunya sukses
membuat kami luluh. Hanya dengan membayar Rp 25.000,- / orang, kami dapat
menaiki perahu nelayan untuk mengelilingi lautan. Awalnya aku sedikit takut
karena ini adalah pertama kalinya di atas jutaan liter air laut. Berkat angin
yang tidak berhembus terlalu kencang, perahu kecil itu bisa melaju dengan
tenang. Meskipun pengemudi menjamin keamanan dan keselamatan, jangan lupa pula
memastikan pelampung terpasang kuat di badan untuk berjaga-jaga apabila terjadi
hal yang tak diinginkan.
Gambar. Pantai Ngrenehan - Penumpang perahu nelayan
Gambar. Pantai Ngrenehan – Pemandangan dari tengah
laut
Gambar 5. Pantai Ngrenehan – Garis batas langit dan
air
Angin
seakan menghipnotisku, tanpa sadar kami telah berada beberapa kilometer dari
bibir pantai. Dari tengah laut kami dapat melihat tiga pantai lain yang telihat
tak kalah menarik. Saat itu aku berharap ada burung camar beterbangan di atas
kami, lumba-lumba yang meloncat kesana-kemari, atau mungkin ikan yang dapat
terlihat dari permukaan. Hahaha… Sayangnya satupun tak dapat kutemukan. Hanya
portrait air dan langit biru yang mendominasi pemandangan. Sekitar lima belas
menit kemudian, kemudi membalikkan arah dan kami tiba di bibir pantai.
Tanpa
terasa waktu berlalu teramat cepat. Memasuki tengah hari, alarm alam berbunyi
di perut. Menandakan kami harus istirahat dan mengisi tenaga. Kami sepakat
untuk menikmati makan siang di pantai selanjutnya. Sebelum pergi, jangan lupa
untuk membayar jasa parkir Rp 5.000,- / mobil.
Sekitar
lima menit kemudian kendaraan kami tiba di Pantai
Ngobaran. Di pantai ini, angin lebih kencang dan ombak beriak.
Gambar 6. Pantai Ngobaran
Gambar 7. Pantai Ngobaran
Tempat
yang tepat untuk kami menikmati santap siang. Kebetulan Mbak memasak makanan
yang sangat lezat pagi ini, sengaja membawanya sebagai bekal makan siang,
terlepas dari banyaknya makanan yang dijual oleh para pedagang. Hijaunya kelapa
muda membuatku tergiur untuk meminumnya, hanya perlu merogoh kocek Rp 10.000,-
/ buah. Makan siang, es kelapa muda, dan kurang lengkap rasanya jika tidak
menyicipi aneka makanan laut yang telah digoreng krispi. Lantas aku membeli
ikan balur krispi yang sangat nikmat, gurih dan renyah seharga Rp 15.000,- /
250 gram. Berhubung ikan balur krispi itu ringan, jadi 250 gram sudah cukup
banyak untuk dinikmati bertiga. Selesai makan, tak lupa kami menunaikan ibadah
shalat Dzuhur karena adzan telah berkumandang. Seasyik apapun berpetualang,
jangan lupa bersyukur dan melaksanakan perintah Sang Pencipta alam semesta.
Setelah
tubuh mendapatkan tenaganya, kami kembali menikmati nuansa alam. Air yang surut
menampakkan aneka tumbuhan dan hewat laut. Ada sensani tersendiri ketika
telapak kaki menyentuh karang yang dilapisi oleh alga. Di sini, penjual
menawarkan jaring dan ember kecil seharga Rp 10.000,- / set untuk menangkap
ikan-ikan kecil. Tak hanya anak kecil, orang dewasa pun turut berlomba
mendapatkan ikan. Ikan-ikan kecil ini sangat gesit, membuat orang kuwalahan
untuk menangkapnya. Ah, selain ikan ada juga hewan lain seperti bintang laut,
bulu babi, dan lain-lain.
Gambar. Pantai Ngobaran – Jaring dan ember
Gambar. Pantai Ngobaran - Berburu ikan
Gambar. Pantai Ngobaran - Bintang laut
Gambar. Pantai Ngobaran – Patung dan Bangunan Hindu
Perjalanan
kami berlanjut ke Pantai Nguyahan tak
jauh dari Pantai Ngobaran. Cukup berjalan kaki selama sepuluh menit dan sekali
lagi pemandangan indah menyambut kami. Pantai ini tak jauh berbeda dengan
pantai sebelumnya. Di sini, pengunjung juga dapat berburu ikan dan melihat
beberapa biota laut.
Gambar. Pantai Nguyahan
Gambar. Pantai Nguyahan – Pemandangan 360 derajat
Gambar. Pantai Nguyahan – Garis batas langit dan
pantai
Kumandang
adzan Ashar mengingatkan kami akan waktu yang terlupakan. Tiba saatnya keluar dari air laut dan kembali menghadap Sang Pencipta. Tak lama selesai ibadah
shalat Ashar, cahaya mentari semakin tertutup oleh mendung. Kami terpaksa bergegas meninggalkan tempat indah ini. Jika ingin tahu biaya parkir, yakni
senilai Rp 10.000,- / mobil.
Tak
berselang lama, tetesan air langit mengguyur kami. Beruntung kami telah berada
di dalam mobil. Sepanjang perjalanan pulang kami terpaksa menerobos samar-samar
jalan yang tertutup air hujan. Kami harus ekstra hati-hati, melewati jalan
berliku, curam, dan tentu saja licin. Jika ragu melewati kondisi seperti ini,
sebaiknya menepi dan menunggu hujan reda.
Gambar. Penglihatan jalan samar-samar
Demikian
cerita perjalanan hari ini. Dalam kondisi dan situasi apapun tak kan membuatku
jera untuk melanjutkan petualangan. Semua foto yang dilampirkan merupakan
dokumentasi pribadi hasil jepretan fotografer abal-abal hanya dengan
menggunakan kamera ponsel. Harap dimaklumi, haha….
Terima kasih telah menyempatkan diri membaca. Sampai jumpa di episode jalan-jalan
selanjutnya.